Ruang Gagasan

Bonus Demografi Indonesia: Peluang Emas atau Bom Waktu?

Diskusi Ruang Gagasan.

Indonesia tengah bersiap menyambut puncak bonus demografi pada 2030, ketika hampir 70 persen penduduknya berada di usia produktif. Namun, berkah ini bisa berubah menjadi bencana jika tak disertai kesiapan sumber daya manusia yang memadai.

Alih-alih menjadi motor pertumbuhan ekonomi, ledakan usia produktif justru terancam menjadi beban jika mayoritas tidak punya kompetensi yang dibutuhkan pasar kerja.

Kenyataan hari ini menunjukkan kecenderungan ke arah sana. Kesenjangan antara lulusan pendidikan dan kebutuhan industri semakin lebar. Banyak lulusan terpaksa bekerja di bidang yang jauh dari disiplin ilmu mereka, sekadar bertahan hidup.

Seorang sarjana kesehatan menjadi content creator karena tak ada lapangan kerja yang relevan. Dosen memilih meninggalkan kelas demi menghindari tekanan administratif yang menguras waktu dan energi. Ini bukan anomali, melainkan gejala sistemik yang menunjukkan ketidakcocokan struktural antara pendidikan dan dunia kerja.

Penelitian dari International Labour Organization pada 2023 mengungkapkan bahwa Indonesia termasuk negara dengan mismatch pekerja tertinggi di antara negara G20. Sekitar 51 persen tenaga kerja tidak berada pada posisi yang sesuai dengan keterampilannya, baik terlalu rendah atau terlalu tinggi dari kebutuhan.

Ini bukan hanya soal kurikulum yang ketinggalan zaman, tapi juga akses pelatihan yang minim, serta sistem pendidikan tinggi yang lebih menekankan gelar daripada keterampilan praktis.

Di tengah stagnasi sistem, muncul strategi bertahan dari generasi muda karier nonlinear. Di luar pola tradisional satu jurusan untuk satu profesi, kini banyak orang memilih lintasan karier yang fleksibel dan melintasi berbagai bidang.

Seorang akuntan bisa menjadi praktisi kecerdasan buatan. Perawat bisa membangun startup di sektor teknologi kesehatan. Karier tidak lagi linear, melainkan refleksi dari eksplorasi dan adaptasi.

Sayangnya, ekosistem kerja di Indonesia belum siap menghadapi kenyataan ini. Banyak orang masih dikekang pilihan pendidikan yang bukan berasal dari minat, tapi dari tekanan orang tua atau mitos kesuksesan yang diwariskan generasi sebelumnya.

Kurikulum pun terlalu sempit, tidak mengakomodasi kebutuhan keterampilan lintas disiplin. Dunia kerja masih mengutamakan ijazah ketimbang portofolio, sementara institusi pendidikan belum cukup progresif untuk menjembatani kebutuhan pasar yang berubah cepat.

Dalam forum Ruang Gagasan yang digelar pada akhir April 2024, anak-anak muda menyuarakan keresahan ini secara terbuka. Pendidikan tak lagi menjamin masa depan, bahkan kerap menjauhkan mereka dari minat. Ekspektasi terhadap gaji yang layak berbenturan dengan fakta bahwa lulusan baru kerap tak memiliki skill yang relevan.

“Banyak individu terjebak dalam pilihan pendidikan yang tidak sesuai passion karena tekanan orang tua, atau terhambat oleh kurikulum kaku yang tidak mengajarkan keterampilan lintas disiplin," ujar Wasna, salah satu peserta Ruang Gagasan (RG) Core Indonesia pada hari Rabu, 30 April 2025.

Di sisi lain, perusahaan pun enggan memberi kesempatan belajar, sehingga stagnasi ini terus berulang. Beberapa peserta bahkan menyebut bahwa sistem ekonomi hari ini cenderung memelihara pengangguran agar daya tawar buruh tetap rendah.

Namun mereka tak berhenti pada kritik. Anak-anak muda dalam forum tersebut menyadari bahwa bertahan di dunia yang berubah ini butuh strategi baru. Mereka menekankan pentingnya eksplorasi minat sejak dini, pembelajaran keterampilan lunak seperti kemampuan adaptasi dan kolaborasi, serta pentingnya keberanian melintasi batas antar-disiplin.

Dunia kerja masa depan tidak mengenal satu jalur tunggal, dan generasi ini menyadari bahwa pekerjaan bukan lagi sekadar alat bertahan hidup, melainkan ruang untuk mencari makna.

Mereka juga menuntut peran negara dan dunia usaha. Pemerintah harus lebih agresif mendorong sektor ekonomi baru, UMKM digital, startup, industri kreatif—sebagai ladang kerja generasi baru.

Sistem perlindungan tenaga kerja pun perlu diperluas, mencakup pekerja informal seperti freelancer dan content creator yang selama ini terpinggirkan. Di sisi lain, perusahaan perlu berhenti terobsesi pada gelar dan mulai mengadopsi sistem rekrutmen berbasis keterampilan nyata. Ruang kerja yang fleksibel dan kolaboratif akan menjadi kunci untuk menumbuhkan inovasi dan retensi talenta.

Penulis: M. Fathur Rahman/Mahasiswa Internship Core Indonesia