Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data terbaru pada 5 Mei 2025 yang menunjukkan bahwa kelompok usia 15–24 tahun masih menjadi penyumbang terbesar angka pengangguran nasional. Data ini menggarisbawahi masalah kronis dalam struktur ketenagakerjaan Indonesia yang tidak kunjung teratasi.
Dalam dokumen Core Insight terbaru berjudul "Tenang Kerja Muda Di Persimpangan Ekonomi Indonesia" fenomena tingginya pengangguran anak muda bukan hanya persoalan mismatch keterampilan, tapi juga menunjukkan kegagalan struktural dalam kebijakan ekonomi dan ketenagakerjaan.
"Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, Estimasi ILO menyebutkan pengangguran muda Indonesia mencapai 13,1% pada 2024, lebih tinggi dari India (12,8%) dan Malaysia (12,3%), serta jauh di atas Vietnam (6,8%), Filipina (6,6%), dan Thailand (4,3%)," demikian seperti rilis terbaru Core Insight.
Menurut dokumen tersebut, persoalan ini bersumber dari carut marut kebijakan sektoral, stagnasi pelatihan kerja, dan investasi yang tidak berpihak pada penciptaan lapangan kerja.
Dokumen itu juga menyoroti fenomena premature servicization di Indonesia yakni loncatan langsung dari ekonomi agraris ke sektor jasa tanpa melalui fase industri manufaktur yang matang. Hal ini menghasilkan sektor jasa yang sangat dualistik, dari pekerjaan berteknologi tinggi hingga pekerjaan informal berupah rendah.
Pelatihan kerja melalui Balai Latihan Kerja (BLK) dan Kartu Prakerja belum efektif. BLK masih menghadapi kendala kurikulum yang stagnan dan minim fasilitas, sedangkan Kartu Prakerja belum optimal menjangkau kelompok rentan seperti NEET. Tanpa penempatan kerja yang jelas, pelatihan ini hanya menjadi janji tanpa solusi nyata.
Dokumen Core Insight menegaskan bahwa investasi nasional masih banyak tertuju pada sektor padat modal, seperti logam dasar, yang kurang menyerap tenaga kerja muda. Sementara itu, sektor padat karya seperti garmen, agribisnis, dan pariwisata kurang diperhatikan padahal berpotensi besar menyerap tenaga kerja.
Sebagai solusi, dokumen tersebut merekomendasikan penyelarasan antara pendidikan, industri, dan regulasi lewat kemitraan nyata antara lembaga vokasi dan dunia usaha, serta penyederhanaan insentif seperti Super Tax Deduction (STD) Vokasi agar lebih efektif.
"Tanpa harmonisasi yang sistemik, Indonesia berisiko kehilangan momentum bonus demografi yang hanya datang sekali dalam sejarah. Peluang emas ini hanya akan menghasilkan dividen jika didukung oleh ekosistem ketenagakerjaan yang inklusif, responsif, dan berorientasi pada masa depan," demikian tulis dokumen tersebut.